PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bagi
orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara baik upacara yang berkaitan dengan
lingkungan hidup manusia itu sendiri sejak masih dalam kandungan ibu, lahir,
kanak-kanak, remaja dewasa bahkan sampai pada kematiannya atau juga
upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam
memcari nafkah misalnya, khususnya bagi para petani, pedagang dan nelayan dan
ada juga upacara yang berhubungan dengan tempat tinggal seperti membangun
gedung, meresmikan rumah pindah rumah dan lain-lain[1].
Seperti
pada kematian, orang Jawa umumnya berkeyakinan bahwa roh nenek moyang (makhluk
halus) itu lama-kelamaan akan pergi dari tempat tinggalnya, dan pada saat-saat
tertentu keluarganya akan mengadakan slametan untuk menandai jarak yang
ditempuh roh itu menuju alam roh, tempatnya yang abadi kelak. Namun roh itu
dapat dihubungi oleh kaum kerabat serta keturunannya setiap saat bila
diperlukan.
Masyarakat Islam di Desa Plosorejo pada
umumnya mempunyai adat ataupun kebiasaan mengadakan selamatan orang mati.. Selamatan kematian
yang dimaksud, berdoa bersama-sama untuk mendoakan seseorang yang sudah
meninggal, yang mana selamatan satu akar dengan Islam dan salam yaitu
kedamaian atau kesejahteraan[2].
Tradisi
selamatan kematian merupakan salah satu hasil akulturasi antara nilai-nilai
masyarakat setempat dengan nilai-nilai Islam, di mana tradisi ini tumbuh subur
di kalangan Nahdliyyin. Sementara ormas-ormas lainnya cenderung memusuhi bahkan
berusaha mengikisnya habis-habisan. Seakan-akan tradisi selamatan kematian
menjelma sebagai tanda pembeda apakah dia warga NU, Muhammadiyah, Persis, atau yang
lainnya. Terjadinya polemik tentang tahlil tersebut, tentu bisa berdampak pada
rusaknya ikatan kekeluargaan antar muslim, seperti saling menuduh dan
menyesatkan kelompok lainnya, timbulnya rasa curiga yang berlebihan.Tradisi
selamatan kematian pada masyarakat di Desa Plosorejo ini merupakan salah satu
sistem ritualiatas yang masih dipertahankan secara eksklusif hingga kini.
Tradisi selamatan kematian ini meskipun berangkat
dari kristalisasi nilai-nilai budaya yang sedemikian tradisional, namun pengaruhnya
hingga kini masih sedemikian kuat sekaligus di desa-desa sekitarnya terutama di
Desa Plosorejo itu sendiri. Tradisi selamatan kematian ini sarat dengan
berbagai nilai- nilai atau makna mulai dari hari pertama meninggal hingga 1000
hari dan haulnya, tentu saja seluruh makna yang terkemas dalam suatu sistem
ritualitas kematian tersebut jelas mengandung nilai- nilai filosofis tertentu
yang terkait dengan karakteristik budaya dari daerah yang bersangkutan. Permasalahan
inilah yang menarik penulis untuk mengadakan penelitian terhadap kandungan
unsur-unsur islam dan budaya lokal dalam tradisi selamtan kematian tersebut,
yang akan peneliti tuangkan dalam bentuk judul : “ANALISA UNSUR ISLAM DAN
BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI SELAMATAN KEMATIAN DI DESA PLOSOREJO KECAMATAN
GONDANG KABUPATEN SRAGEN”.
- Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas beberapa
permasalahan mengenai:
- Bagaimana analisa terhadap pelakasanaan tradisi selamatan kematian?
- Bagaimana analisa unsur-unsur islam dan budaya lokal yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi selamatan kematian?
- Kerangka teori
Pada
masa sebelum masuknya islam, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut
animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada
dibawah pemerintahan kerajaan Mojopahit. Masyarakat
menganut struktur sosial yang berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta
ksatria dan kasta brahmana. Model masyarakat inilah yang menjadi obyek dakwah
para penyebar agama Islam, walaupun mereka bukan orang Jawa asli tetapi mampu
mengantisipasi keadaan masyarakat yang dihadapinya.
Sebagaimana sudah menjadi wacana yang amat familiar
dalam dunia akademik, Geertz menulis sebuah buku yang amat menggemparkan jagat
akademik Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau
kategori agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan,
Santri, dan Priyayi, seperti yang dikutip diatas. Menurut Geertz, tiga varian
keberagamaan masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang
Jawa sendiri ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka.
Menurut
orang Jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal
dunia tetap hidup dan berkeliaran disekitar tempat tinggalnya atau sebagai
arwah leluhur menetap di makam (pesareyan). Mereka masih mempunyai
kontak hubungan dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu
nyambangi datang kekediaman anak keturunan. Roh-roh yang
baik yang bukan roh nenek moyang atau kerabat disebut dhanyang, bahureksa atau
sing ngemong. Dhanyang ini dipandang sebagai roh yang menjaga agar
mengawasi seluruh masyarakat desa.
Dari sinilah kemudian timbul upacara bersih desa,
termasuk membersihkan makam-makam disertai dengan kenduren maupun sesaji dengan
maksud agar sang dhanyang akan selalu memberikan perlindungan.
Pelaksanaan upacara itu sendiri dilaksanakan pada hari-hari tertentu sesuai
dengan bentuk upacaranya.
Dalam
kepercayaan lama, upacara-upacara ini dilakukan dengan mengadakan sesaji atau
semacam korban yang disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh,
makhluk-makhluk halus, dewa-dewa) tertentu. Ibadah ritual orang Jawa yang
semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan jahat itu, semula
dilakukan dalam rangka untuk memperoleh berkah atau minta perlindungan dari
bencana atau juga untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang
tidak dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Upacara-upacara pokok ini dalam agama Jawa tradisional
disebut juga dengan istilah slametan. Ini merupakan acara agama yang
paling umum diantara kalangan orang Jawa dan melambangkan persatuan mistik dan
sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam selamatan.
Masuknya Islam ke Jawa memberikan
warna baru pada upacara-upacara dalam tradisi Jawa, termasuk upacara kematian.
Menurut keyakinan Islam, orang-orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap
hidup sebagaimana menurut orang Jawa, hanya saja ruh itu tinggal sementara di
alam kubur atau alam barzah, yakni alam sebelum memasuki alam akhirat.
Dari
sini dapat dilihat bahwa baik dalam kepercayaan Islam maupun Jawa mempunyai
pandangan yang sama,akan tetapi terkait dengan kepercayaan orang jawa yang
memandang bahwa roh-roh atau dhanyang-dhanyang itu menjaga dan mengawasi
seluruh masyarakat desa serta memberikan perlindungan sehingga perlu diadakan
upacara pemujaan dan pemberian sesaji Islam tidak sepakat, karena menurut
Islam,yang memberikan perlindungan hanya Allah dan ritual-ritual yang
diadakan untuk pemujaan kepada roh-roh halus sama saja dengan menyekutukan
Tuhan (Allah), sehingga Islam melarang ritual-ritual sesaji. Akan tetapi
disisi lain, Islam percaya bahwa orang yang meninggal dunia perlu dikirimi
do’a.
Pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk memohonkan rahmat dan ampunan bagi
arwah orang yang meninggal
.Maka, atas dasar inilah kemudian ajaran Islam dapat masuk ke dalam kepercayaan
orang Jawa dengan merubah pandangan mereka bahwa orang yang meninggal dunia
tidak perlu dipuja dan diberi sesajian, tetapi perlu dikirimi do’a agar menjadi
tambahan bekalnya di alam kubur. Sedangkan bentuk pemberian sesaji
dirubah dengan bentuk pemberian shadaqah atau yang biasa disebut orang Jawa
dengan istilah berkat. Dari sinilah Islam dapat berinterelasi dengan mudah ke
dalam kepercayaan tradisi Jawa.
Secara luwes, Islam memberikan warna
baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau selametan. Tradisi
selamatan yang inti pokoknya adalah pembacaan do’a untuk yang meninggal dunia
ini sendiri untuk penentuan hari pelaksanaannya disesuaikan dengan warisan
budaya sebelum Islam, yakni seperti hari-hari pemujaan yang biasa dilakukan
orang-orang Jawa sebelum datangnya Islam.
Tradisi slametan
yang pelaksanaannya disesuaikan dengan warisan sebelum Islam ini diadakan pada
hari ketiga setelah kematian (nelung dina) dengan mengundang orang banyak dan
disediakan makanan (berkat) yang tujuannya adalah untuk sedekah, bukan sesajian
untuk mayit. Slametan berupa kirim do’a dengan membaca tasbih, tahmid, takbir,
tahlil dan shalawat nabi yang secara keseluruhan rangkaian bacaan itu disebut
tahlilan. Istilah tahlil itu sendiri berarti membaca zikir dengan bacaan لااله الاالله .
Pembacaan do’a ini dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan
tentang Islam, apakah seorang kyai, modin atau kaum. Contoh bila seorang Muslim
meninggal, maka keluarga terdekat atau masyarakat yang ditinggalkan mengadakan
upacara keagamaan dalam selamatan kematian yang berlangsung selama: 1-7 hari,
40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, 1000 hari dan juga diadakan haul setiap
tahunnya. Upacara tersebut juga disebut “tahlilan” (dari kata tahlil), yakni
membaca lafal لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ
secara bersama-sama, sebagai suatu cara yang efektif untuk menanamkan jiwa
tauhid dalam kesempatan suasana keharusan yang membuat orang menjadi
sentimental (penuh perasaan) dan sugestif (gampang menerima paham atau
pengajara).[3]
Upacara slametan
yang sama diselenggarakan pada saat kematian itu mencapai tujuh hari (mitung
dina), 40 hari (matang puluh), 100 hari (nyatus), satu tahun (mendhak sepisan),
dua tahun (mendhak pindho) dan tiga tahun (nyewu). Tahlilan kirim do’a kepada
leluhur terkadang dilakukan juga oleh keluarga secara bersama-sama pada saat
ziarah kubur, khususnya pada waktu menjelang ramadhan. Tradisi itu semua
berangkat dari keinginan untuk menghibur pada keluarga yang ditinggalkan
sekaligus mengambil iktibar bahwa yang masih hidup juga akan segera menyusul
(mati) dikemudian hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Analisis
Terhadap Pelaksanaan Tradisi Selamatan Kematian
1. Asal
–usul atau dasar orang melaksanakan selamatan kematian
Masyarakat di
Desa Plosorejo memandang bahwa asal-usul atau dasar orang melaksanakan
selamatan kematian(tahlilan) berasal dari budaya Islam. Pendapat ini sesuai
dengan pernyataan yang disampaikan oleh salah satu pemuka agama desa tersebut
bahwa budaya selamatan kematian ini dalam Islam sudah ada sejak zaman dahulu
(semasa kehidupan sahabat Ali) yaitu terdapat dalam aliran muslim syi’ah yang
sudah lebih dahulu melakukan upacara keagamaan tahlilan seperti saat ini. Pendapat
tersebut sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh para wali yang berupa
amalan-amalan seperti: membaca ayat suci Al-Qur’an, tahlil,do’a bersama-sama,
yang kesemuanya itu adalah amalan yang dilakukan oleh orang Islam yang
merupakan hasil pengembangan budaya muslim syi’ah. Sebagian masyarakat di Desa
Plosorejo berpandangan bahwa upacara selamatan kematian berasal dari budaya Islam
dan budaya lokal (Jawa/Madura), mereka mengacu pada sejarah masuknya Islam di
Jawa yang tidak terlepas dari peran para wali, yang terkenal dengan sebutan
wali songo (wali sembilan). Dalam penyebaran agama Islam ini para wali itu
memiliki beberapa metode, salah satunya yaitu dengan cara mengalkulturasikan
agama Islam dengan budaya yang ada (mewarnai segala bentuk perilaku yang ada).
Hasil alkulturasi itu salah satunya selamatan kematian yang sebelumnya
dilakukan oleh masyarakat Jawa yang pada masa itu kebanyakan beragama Hindu dan
Budha. Mantera-mantera diawali dengan bismillah dan berakhir dengan
(ucapan) la ilaha illa Allah, ucapan sesajen diganti dengan istilah Arab
sedekah atau selamatan dan sesaji yang melengkapinya disebut berkat (dari
kata barakah).
2. Tujuan
mengadakan selamatan kematian.
Mayoritas
masyarakat di Desa Plosorejo banyak mengungkapkan, bahwa tujuan mengadakan
tahlilan atau selamatan kematian yang untuk mendoakan arwah nenek moyang (keluarga).
Mereka memiliki pemahaman bahwasannya orang yang sudah meninggal dunia ruhnya
tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, sebagai alam
sebelum memasuki alam akhirat. Menurut Munir[4]
arwah orang yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat
tinggalnya, dan masih mempunyai kontak hubungan dengan keluarga yang masih
hidup sehingga suatu saat arwah itu “aneghu” atau nyambangi datang ke
kediamannya tersebut. Dan diyakini bahwa mulai dari hari pertama sampai 40
hari, sukma dari orang meninggal tersebut masih di rumah mereka (keluarga yang
ditinggal) sehingga sanak keluarga berupaya mengirim do’a agar si mati di alam
arwahnya senantiasa mendapat rahmat dari Allah SWT.
Berkaitan dengan
hubungan manusia hidup dengan yang mati ini Syekh Islam Ibnu Taimiyah
berpendapat dalam kutipan badruddin Hsubky[5]
berdasarkan hadis Nabi SAW
“Apabila anak
Adam mati, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara, sodakoh jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya”
Menurut Ibnu
Taimiyah, tidak terdapat keterangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
menjelaskan bahwa sesungguhnya do’a yang hidup tidak bermanfaat bagi si mati.
Bahkan menurut beliqau, sebenarnya bukan hanya do’a yang bisa sampai kepada
orang mati. Semua perbuatan manusia hidup
bisa berpengaruh terhadap orang mati. Para ulama telah sepakat mengenai manfaat
do’a bagi orang yang sudah mati ini, karena dalil-dalilnya sudah sangat jelas,
baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Dan barang siapa yang berbeda pandangan
mengenai ini, berarti ia ahli bid’ah.
Amalan pembacaan
tahlilan (selamatan kematian) atau Al-Qur’an yang dijadikan hadiah bagi mereka
yang telah meninggal, pada hakekatnya merupakan suatu do’a atau istigfar
sebagaimana dapat diketahui dalam acara tahlilan. Dijelaskan dalam Al-Qur’an
surat Al-Hasyr ayat 10.
Artinya: “Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka
berdoa: Ya Tuhan kami, beri ampunilah kami dan saudara-saudara yang
telah beriman lebih dahulu dari kami, (Surat al-Hasyr ayat: 10)
3. Tempat
dan waktu pelaksanaan selamatan kematian.
Bagi masyarakat
di Desa Plosorejo pelaksanaan selamatan kematian merupakan suatu kewajiban
perilaku yang sudah biasa terjadi di saat ada orang meninggal dunia.
Pelaksanaan selamatan kematian yang berlaku di masyarakat Plosorejo dilaksanakan
setelah kegiatan memandikan sampai penguburan jenazah, yaitu pada hari
pertama meninggalnya sampai hari ketujuh, keempat \ puluh, keseratus,
haul dan sampai hari keseribu.Waktu pelaksanaan sering diadakan pada saat
matahari telah terbenam yaitu setelah Maghrib atau Isya’ kadang juga
dilaksanakan pada waktu matahari akan terbenam, yaitu sekitar setelah
shalat Ashar, yang jelas, waktu pelaksanaan selamatan kematian
(tahlilan) tersebut bukan pada saat matahari sedang menyengat melainkan
di saat udara dalam keadaan sejuk dan tidak panas. Pemilihan waktu
paling tidak didasarkan atas suatu faktor tertentu, yaitu ketika
masyarakat sudah beristirahat dari pekerjaannya serta tempat acara tahlilan
dilaksanakan di rumah, serambi depan dengan
mengosongkan suatu ruangan yang cukup luas untuk menampung para tamu.
Upacara
selamatan kematian (tahlilan) dihadiri oleh para anggota keluarga itu sendiri
dengan beberapa tamu yang biasanya adalah tetangga-tetangga terdekat, para
pria, serta selamatan tersebut dipimpin oleh seorang mudin atau Kyai kemungkinan
besar sudah berada di rumah.
4. Pelaksanaan
Prosesi Ritual Selamatan Kematian
Pelaksanaan
selamatan kematian, menurut Moh. Nur Kholis[6]
diawali oleh pihak keluarga di mayat dengan mengundang tetangga dan sanak familinya
secara lisan untuk menghadiri acara itu yang akan diselenggarakan di rumah
duka. Acara tahlilan baru dimulai apabila para undangan sudah banyak yang datang
dan dianggap cukup. Yang perlu untuk diketahui adalah bahwa kadang-kadang orang
yang tidak diundangpun turut menghadiri acara tahlilan, sebagai ekspresi
penyampaian rasa ikut berduka. Acara tahlilan, sebagaimana acara-acara lain,
dimulai dengan pembukaan dan diakhiri dengan pembagian makanan kepada para hadirin.
Kaitannya dengan masalah makanan dalam acara tersebut, kadang-kadang pihak
keluarga si mayat ada yang menyajikannya sampai dua kali, yaitu untuk disantap
bersama di rumah tempat mereka berkumpul dan untuk dibawa pulang ke rumah
masing- masing, yang disebut dengan istilah “berkat” (berasal dari bahasa Arab)
barakah.
Proses
berjalannya acara yang sudah menjadi adat kebiasaan, dipimpin oleh seorang
tokoh masyarakat, kalau bukan seorang ulama atau ustad yang sengaja disiapkan
oleh tuan rumah. Dalam acara selamatan kematian masyarakat di Desa Plosorejo pada
umumnya melakukan pembacaan tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan do’a-do’a
bersama yang khusus ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan hari
waktu dan meninggal. Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga diisi
dengan tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga
keluarganya yang telah meninggal. Biasanya ritual yang dilakukan dimulai dengan
pembacaan surat Yasin, pembacaan tahlil dan ditutup dengan pembacaan do’a.
Umumnya bacaan yang dibaca oleh mereka secara
bersama-sama meliputi antara lain:
a.
Surat Yasin: dari ayat 1 sampai ayat 38
b.
Tahlil di dalamnya mengandung bacaan:
1.
Surat al-Fatihah, sebanyak 5 kali
2.
Surat al-Ikhlas, sebanyak 3 kali
3.
Surat al-Falaq, sebanyak 3 kali
4.
Surat al-Nas, sebanyak 3 kali
5.
Surat al-Baqarah, dari ayat 1 sampai ayat
5
6.
Surat al-Baqarah ayat 163
7.
Surat al-Baqarah ayat 255 (ayat kursi)
8.
Surat al-Baqarah dari ayat 284
sampai ayat 286
9.
Surat Hud ayat 73
10.
Surat al-Ahzab ayat 33
11.
Surat Al-Ahzab ayat 56
12.
Surat Ali Imran ayat 173
13.
Surat al-Anfal ayat 40
14.
Tahlil
15.
Istighfar
16.
Shalawat Nabi
17.
Takbir
18.
Tahmid
19.
Do’a dan sebagainya
20.
Bacaan Do’a terdiri atas:
a.
Do’a tahlil
b.
Do’a khusus bagi si mayat
5.
Hidangan dan Tujuannya
Suatu
ciri khas masyarakat di Desa Plosorejo dalam menghadapi keluarga yang berduka
cita adalah bertakziyah dengan membawa bawaan untuk diberikan kepada keluarga
si mayat, dengan harapan dapat membantu meringankan penderitaan mereka selama
waktu berduka cita. Bentuk bawaan menurut kebiasaan dapat berupa beras, gula,
uang dan lain sebagainya. Dalam menyambut acara selamatan kematian, para ahli
si mayat disamping dibantu oleh para tetangga, bekerja keras mempersiapkan
hidangan yang akan disuguhkan kepada para hadirin. Hidangan terkadang sengaja
dibuat sendiridan terkadang diperoleh dari orang lain dengan cara membelinya.
Hal itutergantung pada kesanggupan dan kesiapan pihak keluarga.
Dalam upacara selamatan kematian pada
masyarakat Plosorejo, penyajian hidangannya selalu disediakan. Penyajian hidangan
disini tidak pernah ditentukan, tetapi pada hari-ahri ke-3 danke-7 biasanya
penyajian hidangan menyajikan tumpeng, jajan pasar, lauk-pauk, dan dalam jajan
pasar kadangkadang ada kue “Apem” sebagai pelengkap.
Kue
apem disini mempunyai maksud dan arti tersendiri. Kata Apem dalam sejarahnya
berasal dari kata“Afwan” yang artinya
maaf dari dosa. Maksud bahwa orang yang mengadakan selamatan kematian itu
adalah untuk memohon maafkan arwah keluarga dari dosanya semasa masih hidup.
Dan ketika selamatan kematian itu menempati hari ke-40, ke-100, ke-1000 dan
haul pada tiap tahunnya, maka penyajian hidangan itu sudah berbeda lagi yaitu
sesuai dengan kemampuan si punya hajat.
Masyarakat di Desa Plosorejo sebagian
besar menyatakan tujuan menyajikan hidangan pada upacara selamatan kematian
adalah untuk menjamu tamu ataumenghormati tamu undangan, karena hal itu sudah
menjadi tradisi apabila kitamengadakan selamatan kematian (tahlilan) untuk
mengucapkan rasa terimakasih itu dengan wujud memberikan hidangan pada waktu acara
sudah selesai dan untuk dibawa pulang serta juga ada yang menyatakan bahwa
tujuan penyajian hidangan adalah untuk bersodaqoh (bersedekah). Islam tidak melarang
sedekah, yang dilarang dalam Islam adalah sedekah yang dikaitkan dengan
mengharapkan pertolongan ruh si mati, Islam bahkan selalu menuntut umatnya agar
banyak melakukan sedekah. Dengan demikian, memberi santunan atau memberi
sesuatu yang membuat orang lain senang merupakan suatu perbuatan yang sangat
terpuji dalam Islam.
B. Analisis
Terhadap Unsur-unsur yang Terkandung dalam Tradisi Selamatan
Kematian
Selamatan
kematian sebagai salah satu hasil alkulturasi islam dan budaya jawa, pada
pelaksaannya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Unsur Islam
Pada selamatan kematian
keberadaan unsur islam sangat terlihat jelas, antara lain:
1.
penggunaan
ayat-ayat al Qur’an
Proses
berjalannya acara yang sudah menjadi adat kebiasaan, dipimpin oleh seorang
tokoh masyarakat, kalau bukan seorang ulama atau ustad yang sengaja disiapkan
oleh tuan rumah. Dalam acara selamatan kematian masyarakat di Desa Plosorejo
pada umumnya melakukan pembacaan tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan
do’a-do’a bersama yang khusus ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan
hari waktu dan meninggal. Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga
diisi dengan tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga
keluarganya yang telah meninggal. Biasanya ritual yang dilakukan dimulai dengan
pembacaan surat Yasin, pembacaan tahlil dan ditutup dengan pembacaan do’a.
2. Sedekah
Makanan
dan minuman yang dihidangkan di dalam berbagai bentuk ritus, yang merupakan inti dari pelaksanaan suatu
ritual. Selamatan bermanfaat memberikan keselamatan diri dari bahaya atau
siksaan. Selamatan menurut agama Islam tidak hanya dilakukan pada saat
kesedihan, seperti pada saat meninggalnya seseorang.
Selamatan
yang dilakukan di saat kematian menurut sebagian masyarakat merupakan suatu bentuk kebajikan yang
dianjurkan oleh Islam. Kebaikan tersebut disebut sedekah, yang diharapkan
pahala dari padanya akan sampai kepada si almarhum. Selamatan yang biasa
dilakukan oleh mereka yang melakukannya berasal dari harta si mayat itu
sendiri, para keluarga si mayat dan juga dari berbagai macam bawaan mereka yang
bertakziyah (biasanya orang-orang yang bertakziyah kepada keluarga si mayat
atas musibah yang menimpa mereka selalu disertai dengan membawa sedikit
kebutuhan pokok). Sajian dalam pelaksanaan selamatan kematian di Plosorejo
tidak saja harus berupa makanan, tetapi bisa juga berupa lainnya. Hal yang demikian
itu tergantung pada kadar kemampuan dari pihak keluarga masing-masing yang
melakukannya. Bahkan tidak menutup suatu kemungkinan selamatan hanya berupa
minuman (air), untuk sebatas menghilangkan rasa haus selama berada di
perjalanan disamping tidak begitu membebani atau menyibukkan keluarga si mayat.
3.
Nilai ukhwah
islamiyah
Dalam masyarakat Plosorejo, selamatan
kematian yang memberikan kesempatan berkumpulnya sekelompok orang berdo’a
bersama, makan bersama (selamatan) secara sederhana, merupakan suatu sikap
sosial yang mempunyai makna turut berduka cita terhadap keluarga si mayat atas
musibah yang menimpanya, yaitu meninggalnya salah seorang anggota keluarganya.
Disamping itu, juga barmakna mengadakan silaturrahmi serta memupuk ikatan
persaudaraan antara mereka. Perkumpulan berduka cita yang disertai dengan
bertahlil bersama pada kehidupan masyarakat Plosorejo menurut kebiasaan yang
selama ini berjalan dilaksanakan pada sore atau malam hari. Masyarakat
Plosorejo yang kehidupan sehari- harinya senantiasa ditandai oleh kebersamaan,
kegiatan yang akan dilaksanakan selalu dipertimbangkan secara matang sehingga
tidak merasa mengganggu orang lain dalam bekerja mencari nafkah untuk
menghidupi keluarganya, meskipun pada dasarnya jika kegiatan tersebut dilaksanakan
pada pagi atau siang hari orang-orang (masyarakat Plosorejo) akan rela
meninggalkan pekerjaannya tanpa mempertimbangkan keuntungan materi. Perkumpulan
di rumah si mayat tidak lain untuk mengadakan do’a bersama untuk dihadiahkan
kepada si mayat atau setidaknya dengan suatu harapan pahala kebaikan yang
dilakukan orang banyak itu mampu menghapus siksa yang akan menimpa si mayat,
atau setidaknya bisa mengurangi siksaannya. Mereka menghadiahkan kepada si
mayat karena meyakini bahwa pahala yang ditujukan kepada si mayat akan sampai
kepadanya.
4.
Nilai
Tolong-menolong.
Dalam hal tolong-menolong pada peristiwa
kematian, biasanya dilakukan oleh seseorang dengan amat rela, tanpa perhitungan
akan mendapat pertolongan kembali, karena menolong orang yang mendapat musibah
itu rupa-rupanya berdasarkan rasa bela sungkawa yang universal dalam jiwa
makhluk manusia. Dan dasar dari tolong-menolong juga rupa-rupanya perasaan
saling butuh membutuhkan, yang ada dalam jiwa warga masyarakat. Nilai
tolong-menolong dalam tradisi selamatan kematian pada masyarakat Plosorejo
terlihat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraannya. Misalnya dalam hidangan,
selama tujuh hari berturut-turut para ibu- ibu (para tetangga dan kerabat dekat
di almarhum) membantu dalam persiapan hidangan (makan, minuman) undangan,
karena dalam selamatan kematian tidak sedikit yang hadir kadang-kadang 100-150
orang (sesuai dengan relasi seseorang dalam bermasyarakat). Bahkan pada saat
pelaksanaan kematian selesai, mereka bersama-sama membersihkan tempat-tempat
yang telah digunakan. Dalam tolong
menolong terdapat hubungan saling ketergantungan sebagai akibat dari adanya
proses pertukaran yang saling memberikan balasan atas jasa yang diberikan orang
lain kepada dirinya.[7]
“Long-nolongeh”
(tolong menolong) dalam masyarakat Plosorejo khususnya dalam selamatan kematian terjadi secara spontan dan rela,
tetapi juga ada yang didasarkan oleh perasaan saling membutuhkan yang ada dalam
jiwa masyarakat tersebut. Kegiatan tolong-menolong ini diartikan sebagai suatu
kegiatan kerja yang melibatkan tenaga kerja dengan tujuan membantu si punya
hajat dan mereka tidak menerima imbalan berupa upah (tolong menolong pada
situasi kematian musibah cenderung rela).
b.
Unsur
Budaya lokal
Unsur
budaya jawa pada selamatan kematian terlihat jelas pelaksanaannya yang di
tentukan oleh penanggalan jawa.
Selamatan yang biasa dilakukan
oleh orang Jawa adalah :
*
1-7 hari (telung dina, pitong dina)
*
40 hari (matangpuluh dina)
*
100 hari (nyatus dina)
*
Mendhak 1
*
Mendhak 2
*
1000 hari (nyewu)
Orang
Jawa mempunyai rumus tersendiri dalam menghitung selamatan. Salah satunya
dengan memanfaatkan Hari dan pasaran. Hari adalah Senin,Selasa, Rabu, Kamis,
Jum’at , Sabtu dan Minggu. Sedangkan pasaran adalah Pon, wage, Kliwon, Manis
(Legi) dan Pahing. Mereka mengkombinasikan hari dan pasaran tersebut sehingga
menemukan kapan hari selamatan tersebut. Mereka mempunyai rumus tersendiri
dalam menghitung selamatan tersebut.
Orang
Jawa begitu familiar dengan penghitungan selamatan seperti itu. Karena mereka
sudah mempunyai rumus dalam menghitung selamatan orang meninggal, maka
merekapun akan dengan mudah menentukan hari apa harus melakukan selamatan
tersebut. Misal jika orang meninggal pada hari Jum’at Kliwon, maka selamatannya
adalah :
*
3 hari = Minggu Pahing
*
7 hari = Kamis Legi
*
40 hari = Selasa Wage
*
100 hari = Sabtu Wage
*
Mendhak 1 = Senin Pon
*
Mendhak 2 = Sabtu Pon
*
1000 hari = Rabu wage
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Upacara selamatan kematian merupakan
tradisi bagi masyarakat di Desa Plosorejo. Upacara tersebut dilaksanakan untuk
menghormati dan mendoakan orang yang telah meninggal agar diampuni oleh Allah
dan mendapatkan tempat yang baik diakhirat. Selamatan kematian merupakan salah
satu hasil alkulturasi islam dan budaya lokal sejak islam mulai masuk Desa
Plosorejo. Berkat keterbukaan masyarakat terhadap kebudayaan baru, Pada
akhirnya kedua kebudayaan tersebut dapat beralkulturasi dengan baik tanpa menumbulkan konflik yang
serius.
Daftar
Pustaka
Drs. M. Darori Amin, MA., Islam & Kebudayaan Jawa,
(GAMA MEDIA: Yogyakarta, 2000),
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta
: Balai Pustaka, 1984),
Moh. Nur Kholis, wawancara, Plosorejo, 5 November 2012
Munir, wawancara, Plosorejo,6 November 2012
Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban:
Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan,
(Jakarta: Paramadina, 2005), hal. 551
Rudi,
Studi Perbandingan Pranata Sosial, dalam http://blogs.unpad.ac.id(Sdarwis
)
Sholeh
So’an, Tahlilan: Penelitian Historis atas Makna Penelitian Indonesia, (Bandung:
Agung Ilmu),153
131
Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 2005), hal. 551
[5]
Badrussin
Hsubky, Bid’ah-bid’ah di Indonesia dalam Perspektif Al-Qur’an As-Shunnah
Kalam Kitab
Kuning, (Surabaya: PP.
Nurul Islam, 2005), 25.