Kamis, 27 Juni 2013

makalah selamatan kematian



PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara baik upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri sejak masih dalam kandungan ibu, lahir, kanak-kanak, remaja dewasa bahkan sampai pada kematiannya atau juga upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam memcari nafkah misalnya, khususnya bagi para petani, pedagang dan nelayan dan ada juga upacara yang berhubungan dengan tempat tinggal seperti membangun gedung, meresmikan rumah pindah rumah dan lain-lain[1].

Seperti pada kematian, orang Jawa umumnya berkeyakinan bahwa roh nenek moyang (makhluk halus) itu lama-kelamaan akan pergi dari tempat tinggalnya, dan pada saat-saat tertentu keluarganya akan mengadakan slametan untuk menandai jarak yang ditempuh roh itu menuju alam roh, tempatnya yang abadi kelak. Namun roh itu dapat dihubungi oleh kaum kerabat serta keturunannya setiap saat bila diperlukan.
Masyarakat Islam di Desa Plosorejo pada umumnya mempunyai adat ataupun kebiasaan mengadakan selamatan orang mati.. Selamatan kematian yang dimaksud, berdoa bersama-sama untuk mendoakan seseorang yang sudah meninggal, yang mana selamatan satu akar dengan Islam dan salam yaitu kedamaian atau kesejahteraan[2].
Tradisi selamatan kematian merupakan salah satu hasil akulturasi antara nilai-nilai masyarakat setempat dengan nilai-nilai Islam, di mana tradisi ini tumbuh subur di kalangan Nahdliyyin. Sementara ormas-ormas lainnya cenderung memusuhi bahkan berusaha mengikisnya habis-habisan. Seakan-akan tradisi selamatan kematian menjelma sebagai tanda pembeda apakah dia warga NU, Muhammadiyah, Persis, atau yang lainnya. Terjadinya polemik tentang tahlil tersebut, tentu bisa berdampak pada rusaknya ikatan kekeluargaan antar muslim, seperti saling menuduh dan menyesatkan kelompok lainnya, timbulnya rasa curiga yang berlebihan.Tradisi selamatan kematian pada masyarakat di Desa Plosorejo ini merupakan salah satu sistem ritualiatas yang masih dipertahankan secara eksklusif hingga kini.
 Tradisi selamatan kematian ini meskipun berangkat dari kristalisasi nilai-nilai budaya yang sedemikian tradisional, namun pengaruhnya hingga kini masih sedemikian kuat sekaligus di desa-desa sekitarnya terutama di Desa Plosorejo itu sendiri. Tradisi selamatan kematian ini sarat dengan berbagai nilai- nilai atau makna mulai dari hari pertama meninggal hingga 1000 hari dan haulnya, tentu saja seluruh makna yang terkemas dalam suatu sistem ritualitas kematian tersebut jelas mengandung nilai- nilai filosofis tertentu yang terkait dengan karakteristik budaya dari daerah yang bersangkutan. Permasalahan inilah yang menarik penulis untuk mengadakan penelitian terhadap kandungan unsur-unsur islam dan budaya lokal dalam tradisi selamtan kematian tersebut, yang akan peneliti tuangkan dalam bentuk judul : “ANALISA UNSUR ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI SELAMATAN KEMATIAN DI DESA PLOSOREJO KECAMATAN GONDANG  KABUPATEN  SRAGEN”.

  1. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas beberapa permasalahan mengenai:
  1. Bagaimana analisa terhadap pelakasanaan tradisi selamatan kematian?
  2. Bagaimana analisa unsur-unsur islam dan budaya lokal yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi selamatan kematian?

  1. Kerangka teori
Pada masa sebelum masuknya islam, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada dibawah pemerintahan kerajaan Mojopahit. Masyarakat menganut struktur sosial yang berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta ksatria dan kasta brahmana. Model masyarakat inilah yang menjadi obyek dakwah para penyebar agama Islam, walaupun mereka bukan orang Jawa asli tetapi mampu mengantisipasi keadaan masyarakat yang dihadapinya.
Sebagaimana sudah menjadi wacana yang amat familiar dalam dunia akademik, Geertz menulis sebuah buku yang amat menggemparkan jagat akademik Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau kategori agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan, Santri, dan Priyayi, seperti yang dikutip diatas. Menurut Geertz, tiga varian keberagamaan masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang Jawa sendiri ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka.
Menurut orang Jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia tetap hidup dan berkeliaran disekitar tempat tinggalnya atau sebagai arwah leluhur menetap di makam (pesareyan). Mereka masih mempunyai kontak hubungan dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu nyambangi datang kekediaman anak keturunan. Roh-roh yang baik yang bukan roh nenek moyang atau kerabat disebut dhanyang, bahureksa atau sing ngemong. Dhanyang ini dipandang sebagai roh yang menjaga agar mengawasi seluruh masyarakat desa.
Dari sinilah kemudian timbul upacara bersih desa, termasuk membersihkan makam-makam disertai dengan kenduren maupun sesaji dengan maksud agar sang dhanyang akan selalu memberikan perlindungan. Pelaksanaan upacara itu sendiri dilaksanakan pada hari-hari tertentu sesuai dengan bentuk upacaranya.
Dalam kepercayaan lama, upacara-upacara ini dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, makhluk-makhluk halus, dewa-dewa) tertentu. Ibadah ritual orang Jawa yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan jahat itu, semula dilakukan dalam rangka untuk memperoleh berkah atau minta perlindungan dari bencana atau juga untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Upacara-upacara pokok ini dalam agama Jawa tradisional disebut juga dengan istilah slametan. Ini merupakan acara agama yang paling umum diantara kalangan orang Jawa dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam selamatan.
Masuknya Islam ke Jawa memberikan warna baru pada upacara-upacara dalam tradisi Jawa, termasuk upacara kematian. Menurut keyakinan Islam, orang-orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap hidup sebagaimana menurut orang Jawa, hanya saja ruh itu tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, yakni alam sebelum memasuki alam akhirat.
Dari sini dapat dilihat bahwa baik dalam kepercayaan Islam maupun Jawa mempunyai pandangan yang sama,akan tetapi terkait dengan kepercayaan orang jawa yang memandang bahwa roh-roh atau dhanyang-dhanyang itu menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat desa serta memberikan perlindungan sehingga perlu diadakan upacara pemujaan dan pemberian sesaji Islam tidak sepakat, karena menurut Islam,yang memberikan perlindungan hanya Allah dan  ritual-ritual yang diadakan untuk pemujaan kepada roh-roh halus sama saja dengan menyekutukan Tuhan (Allah), sehingga Islam melarang ritual-ritual sesaji. Akan tetapi disisi lain, Islam percaya bahwa orang yang meninggal dunia perlu dikirimi do’a. Pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk memohonkan rahmat dan ampunan bagi arwah orang yang meninggal .Maka, atas dasar inilah kemudian ajaran Islam dapat masuk ke dalam kepercayaan orang Jawa dengan merubah pandangan mereka bahwa orang yang meninggal dunia tidak perlu dipuja dan diberi sesajian, tetapi perlu dikirimi do’a agar menjadi tambahan bekalnya di alam kubur. Sedangkan bentuk pemberian sesaji dirubah dengan bentuk pemberian shadaqah atau yang biasa disebut orang Jawa dengan istilah berkat. Dari sinilah Islam dapat berinterelasi dengan mudah ke dalam kepercayaan tradisi Jawa.
Secara luwes, Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau selametan. Tradisi selamatan yang inti pokoknya adalah pembacaan do’a untuk yang meninggal dunia ini sendiri untuk penentuan hari pelaksanaannya disesuaikan dengan warisan budaya sebelum Islam, yakni seperti hari-hari pemujaan yang biasa dilakukan orang-orang Jawa sebelum datangnya Islam.
Tradisi slametan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan warisan sebelum Islam ini diadakan pada hari ketiga setelah kematian (nelung dina) dengan mengundang orang banyak dan disediakan makanan (berkat) yang tujuannya adalah untuk sedekah, bukan sesajian untuk mayit. Slametan berupa kirim do’a dengan membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan shalawat nabi yang secara keseluruhan rangkaian bacaan itu disebut tahlilan. Istilah tahlil itu sendiri berarti membaca zikir dengan bacaan لااله الاالله . Pembacaan do’a ini dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang kyai, modin atau kaum. Contoh bila seorang Muslim meninggal, maka keluarga terdekat atau masyarakat yang ditinggalkan mengadakan upacara keagamaan dalam selamatan kematian yang berlangsung selama: 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, 1000 hari dan juga diadakan haul setiap tahunnya. Upacara tersebut juga disebut “tahlilan” (dari kata tahlil), yakni membaca lafal لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ secara bersama-sama, sebagai suatu cara yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan suasana keharusan yang membuat orang menjadi sentimental (penuh perasaan) dan sugestif (gampang menerima paham atau pengajara).[3]
Upacara slametan yang sama diselenggarakan pada saat kematian itu mencapai tujuh hari (mitung dina), 40 hari (matang puluh), 100 hari (nyatus), satu tahun (mendhak sepisan), dua tahun (mendhak pindho) dan tiga tahun (nyewu). Tahlilan kirim do’a kepada leluhur terkadang dilakukan juga oleh keluarga secara bersama-sama pada saat ziarah kubur, khususnya pada waktu menjelang ramadhan. Tradisi itu semua berangkat dari keinginan untuk menghibur pada keluarga yang ditinggalkan sekaligus mengambil iktibar bahwa yang masih hidup juga akan segera menyusul (mati) dikemudian hari.





















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Analisis Terhadap Pelaksanaan Tradisi Selamatan Kematian
1.      Asal –usul atau dasar orang melaksanakan selamatan kematian
Masyarakat di Desa Plosorejo memandang bahwa asal-usul atau dasar orang melaksanakan selamatan kematian(tahlilan) berasal dari budaya Islam. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh salah satu pemuka agama desa tersebut bahwa budaya selamatan kematian ini dalam Islam sudah ada sejak zaman dahulu (semasa kehidupan sahabat Ali) yaitu terdapat dalam aliran muslim syi’ah yang sudah lebih dahulu melakukan upacara keagamaan tahlilan seperti saat ini. Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh para wali yang berupa amalan-amalan seperti: membaca ayat suci Al-Qur’an, tahlil,do’a bersama-sama, yang kesemuanya itu adalah amalan yang dilakukan oleh orang Islam yang merupakan hasil pengembangan budaya muslim syi’ah. Sebagian masyarakat di Desa Plosorejo berpandangan bahwa upacara  selamatan kematian berasal dari budaya Islam dan budaya lokal (Jawa/Madura), mereka mengacu pada sejarah masuknya Islam di Jawa yang tidak terlepas dari peran para wali, yang terkenal dengan sebutan wali songo (wali sembilan). Dalam penyebaran agama Islam ini para wali itu memiliki beberapa metode, salah satunya yaitu dengan cara mengalkulturasikan agama Islam dengan budaya yang ada (mewarnai segala bentuk perilaku yang ada). Hasil alkulturasi itu salah satunya selamatan kematian yang sebelumnya dilakukan oleh masyarakat Jawa yang pada masa itu kebanyakan beragama Hindu dan Budha. Mantera-mantera diawali dengan bismillah dan berakhir dengan (ucapan) la ilaha illa Allah, ucapan sesajen diganti dengan istilah Arab sedekah atau selamatan dan sesaji yang melengkapinya disebut berkat (dari kata barakah).

2.      Tujuan mengadakan  selamatan kematian.
Mayoritas masyarakat di Desa Plosorejo banyak mengungkapkan, bahwa tujuan mengadakan tahlilan atau selamatan kematian yang untuk mendoakan arwah nenek moyang (keluarga). Mereka memiliki pemahaman bahwasannya orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, sebagai alam sebelum memasuki alam akhirat. Menurut Munir[4] arwah orang yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, dan masih mempunyai kontak hubungan dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu “aneghu” atau nyambangi datang ke kediamannya tersebut. Dan diyakini bahwa mulai dari hari pertama sampai 40 hari, sukma dari orang meninggal tersebut masih di rumah mereka (keluarga yang ditinggal) sehingga sanak keluarga berupaya mengirim do’a agar si mati di alam arwahnya senantiasa mendapat rahmat dari Allah SWT.
Berkaitan dengan hubungan manusia hidup dengan yang mati ini Syekh Islam Ibnu Taimiyah berpendapat dalam kutipan badruddin Hsubky[5] berdasarkan hadis Nabi SAW
Apabila anak Adam mati, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara, sodakoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya”
Menurut Ibnu Taimiyah, tidak terdapat keterangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskan bahwa sesungguhnya do’a yang hidup tidak bermanfaat bagi si mati. Bahkan menurut beliqau, sebenarnya bukan hanya do’a yang bisa sampai kepada orang mati. Semua perbuatan manusia hidup  bisa berpengaruh terhadap orang mati. Para ulama telah sepakat mengenai manfaat do’a bagi orang yang sudah mati ini, karena dalil-dalilnya sudah sangat jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Dan barang siapa yang berbeda pandangan mengenai ini, berarti ia ahli bid’ah.
Amalan pembacaan tahlilan (selamatan kematian) atau Al-Qur’an yang dijadikan hadiah bagi mereka yang telah meninggal, pada hakekatnya merupakan suatu do’a atau istigfar sebagaimana dapat diketahui dalam acara tahlilan. Dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 10.
Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: Ya Tuhan kami, beri ampunilah kami dan saudara-saudara yang telah beriman lebih dahulu dari kami, (Surat al-Hasyr ayat: 10)



3.      Tempat dan waktu pelaksanaan selamatan kematian.
Bagi masyarakat di Desa Plosorejo pelaksanaan selamatan kematian merupakan suatu kewajiban perilaku yang sudah biasa terjadi di saat ada orang meninggal dunia. Pelaksanaan selamatan kematian yang berlaku di masyarakat Plosorejo dilaksanakan setelah kegiatan memandikan sampai penguburan jenazah, yaitu pada hari pertama meninggalnya sampai hari ketujuh, keempat \ puluh, keseratus, haul dan sampai hari keseribu.Waktu pelaksanaan sering diadakan pada saat matahari telah terbenam yaitu setelah Maghrib atau Isya’ kadang juga dilaksanakan pada waktu matahari akan terbenam, yaitu sekitar setelah shalat Ashar, yang jelas, waktu pelaksanaan selamatan kematian (tahlilan) tersebut bukan pada saat matahari sedang menyengat melainkan di saat udara dalam keadaan sejuk dan tidak panas. Pemilihan waktu paling tidak didasarkan atas suatu faktor tertentu, yaitu ketika masyarakat sudah beristirahat dari pekerjaannya serta tempat acara tahlilan dilaksanakan di rumah, serambi depan dengan  mengosongkan suatu ruangan yang cukup luas untuk menampung para tamu.
Upacara selamatan kematian (tahlilan) dihadiri oleh para anggota keluarga itu sendiri dengan beberapa tamu yang biasanya adalah tetangga-tetangga terdekat, para pria, serta selamatan tersebut dipimpin oleh seorang mudin atau Kyai kemungkinan besar sudah berada di rumah.

4.      Pelaksanaan Prosesi Ritual Selamatan Kematian
Pelaksanaan selamatan kematian, menurut Moh. Nur Kholis[6] diawali oleh pihak keluarga di mayat dengan mengundang tetangga dan sanak familinya secara lisan untuk menghadiri acara itu yang akan diselenggarakan di rumah duka. Acara tahlilan baru dimulai apabila para undangan sudah banyak yang datang dan dianggap cukup. Yang perlu untuk diketahui adalah bahwa kadang-kadang orang yang tidak diundangpun turut menghadiri acara tahlilan, sebagai ekspresi penyampaian rasa ikut berduka. Acara tahlilan, sebagaimana acara-acara lain, dimulai dengan pembukaan dan diakhiri dengan pembagian makanan kepada para hadirin. Kaitannya dengan masalah makanan dalam acara tersebut, kadang-kadang pihak keluarga si mayat ada yang menyajikannya sampai dua kali, yaitu untuk disantap bersama di rumah tempat mereka berkumpul dan untuk dibawa pulang ke rumah masing- masing, yang disebut dengan istilah “berkat” (berasal dari bahasa Arab) barakah.
Proses berjalannya acara yang sudah menjadi adat kebiasaan, dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat, kalau bukan seorang ulama atau ustad yang sengaja disiapkan oleh tuan rumah. Dalam acara selamatan kematian masyarakat di Desa Plosorejo pada umumnya melakukan pembacaan tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan do’a-do’a bersama yang khusus ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan hari waktu dan meninggal. Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga diisi dengan tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga keluarganya yang telah meninggal. Biasanya ritual yang dilakukan dimulai dengan pembacaan surat Yasin, pembacaan tahlil dan ditutup dengan pembacaan do’a.
 Umumnya bacaan yang dibaca oleh mereka secara bersama-sama meliputi antara lain:
a. Surat Yasin: dari ayat 1 sampai ayat 38
b. Tahlil di dalamnya mengandung bacaan:
1.      Surat al-Fatihah, sebanyak 5 kali
2.      Surat al-Ikhlas, sebanyak 3 kali
3.       Surat al-Falaq, sebanyak 3 kali
4.      Surat al-Nas, sebanyak 3 kali
5.       Surat al-Baqarah, dari ayat 1 sampai ayat 5 
6.      Surat al-Baqarah ayat 163
7.       Surat al-Baqarah ayat 255 (ayat kursi)
8.      Surat al-Baqarah dari ayat 284 sampai ayat 286
9.       Surat Hud ayat 73
10.  Surat al-Ahzab ayat 33
11.   Surat Al-Ahzab ayat 56
12.   Surat Ali Imran ayat 173
13.  Surat al-Anfal ayat 40
14.  Tahlil
15.   Istighfar
16.  Shalawat Nabi
17.  Takbir
18.   Tahmid
19.  Do’a dan sebagainya
20.   Bacaan Do’a terdiri atas:
a.       Do’a tahlil
b.       Do’a khusus bagi si mayat





5.       Hidangan dan Tujuannya
Suatu ciri khas masyarakat di Desa Plosorejo dalam menghadapi keluarga yang berduka cita adalah bertakziyah dengan membawa bawaan untuk diberikan kepada keluarga si mayat, dengan harapan dapat membantu meringankan penderitaan mereka selama waktu berduka cita. Bentuk bawaan menurut kebiasaan dapat berupa beras, gula, uang dan lain sebagainya. Dalam menyambut acara selamatan kematian, para ahli si mayat disamping dibantu oleh para tetangga, bekerja keras mempersiapkan hidangan yang akan disuguhkan kepada para hadirin. Hidangan terkadang sengaja dibuat sendiridan terkadang diperoleh dari orang lain dengan cara membelinya. Hal itutergantung pada kesanggupan dan kesiapan pihak keluarga.
Dalam upacara selamatan kematian pada masyarakat Plosorejo, penyajian hidangannya selalu disediakan. Penyajian hidangan disini tidak pernah ditentukan, tetapi pada hari-ahri ke-3 danke-7 biasanya penyajian hidangan menyajikan tumpeng, jajan pasar, lauk-pauk, dan dalam jajan pasar kadangkadang ada kue “Apem” sebagai pelengkap. Kue apem disini mempunyai maksud dan arti tersendiri. Kata Apem dalam sejarahnya berasal dari kata“Afwan”  yang artinya maaf dari dosa. Maksud bahwa orang yang mengadakan selamatan kematian itu adalah untuk memohon maafkan arwah keluarga dari dosanya semasa masih hidup. Dan ketika selamatan kematian itu menempati hari ke-40, ke-100, ke-1000 dan haul pada tiap tahunnya, maka penyajian hidangan itu sudah berbeda lagi yaitu sesuai dengan kemampuan si punya hajat.
Masyarakat di Desa Plosorejo sebagian besar menyatakan tujuan menyajikan hidangan pada upacara selamatan kematian adalah untuk menjamu tamu ataumenghormati tamu undangan, karena hal itu sudah menjadi tradisi apabila kitamengadakan selamatan kematian (tahlilan) untuk mengucapkan rasa terimakasih itu dengan wujud memberikan hidangan pada waktu acara sudah selesai dan untuk dibawa pulang serta juga ada yang menyatakan bahwa tujuan penyajian hidangan adalah untuk bersodaqoh (bersedekah). Islam tidak melarang sedekah, yang dilarang dalam Islam adalah sedekah yang dikaitkan dengan mengharapkan pertolongan ruh si mati, Islam bahkan selalu menuntut umatnya agar banyak melakukan sedekah. Dengan demikian, memberi santunan atau memberi sesuatu yang membuat orang lain senang merupakan suatu perbuatan yang sangat terpuji dalam Islam.


B.      Analisis Terhadap Unsur-unsur yang Terkandung dalam Tradisi Selamatan Kematian
Selamatan kematian sebagai salah satu hasil alkulturasi islam dan budaya jawa, pada pelaksaannya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.                Unsur  Islam
Pada selamatan kematian keberadaan unsur  islam sangat  terlihat jelas,  antara lain:

1.       penggunaan ayat-ayat al Qur’an
Proses berjalannya acara yang sudah menjadi adat kebiasaan, dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat, kalau bukan seorang ulama atau ustad yang sengaja disiapkan oleh tuan rumah. Dalam acara selamatan kematian masyarakat di Desa Plosorejo pada umumnya melakukan pembacaan tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan do’a-do’a bersama yang khusus ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan hari waktu dan meninggal. Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga diisi dengan tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga keluarganya yang telah meninggal. Biasanya ritual yang dilakukan dimulai dengan pembacaan surat Yasin, pembacaan tahlil dan ditutup dengan pembacaan do’a.

2.       Sedekah
Makanan dan minuman yang dihidangkan di dalam berbagai bentuk ritus,  yang merupakan inti dari pelaksanaan suatu ritual. Selamatan bermanfaat memberikan keselamatan diri dari bahaya atau siksaan. Selamatan menurut agama Islam tidak hanya dilakukan pada saat kesedihan, seperti pada saat meninggalnya seseorang.
Selamatan yang dilakukan di saat kematian menurut sebagian masyarakat  merupakan suatu bentuk kebajikan yang dianjurkan oleh Islam. Kebaikan tersebut disebut sedekah, yang diharapkan pahala dari padanya akan sampai kepada si almarhum. Selamatan yang biasa dilakukan oleh mereka yang melakukannya berasal dari harta si mayat itu sendiri, para keluarga si mayat dan juga dari berbagai macam bawaan mereka yang bertakziyah (biasanya orang-orang yang bertakziyah kepada keluarga si mayat atas musibah yang menimpa mereka selalu disertai dengan membawa sedikit kebutuhan pokok). Sajian dalam pelaksanaan selamatan kematian di Plosorejo tidak saja harus berupa makanan, tetapi bisa juga berupa lainnya. Hal yang demikian itu tergantung pada kadar kemampuan dari pihak keluarga masing-masing yang melakukannya. Bahkan tidak menutup suatu kemungkinan selamatan hanya berupa minuman (air), untuk sebatas menghilangkan rasa haus selama berada di perjalanan disamping tidak begitu membebani atau menyibukkan keluarga si mayat.

3.      Nilai ukhwah islamiyah
Dalam masyarakat Plosorejo, selamatan kematian yang memberikan kesempatan berkumpulnya sekelompok orang berdo’a bersama, makan bersama (selamatan) secara sederhana, merupakan suatu sikap sosial yang mempunyai makna turut berduka cita terhadap keluarga si mayat atas musibah yang menimpanya, yaitu meninggalnya salah seorang anggota keluarganya. Disamping itu, juga barmakna mengadakan silaturrahmi serta memupuk ikatan persaudaraan antara mereka. Perkumpulan berduka cita yang disertai dengan bertahlil bersama pada kehidupan masyarakat Plosorejo menurut kebiasaan yang selama ini berjalan dilaksanakan pada sore atau malam hari. Masyarakat Plosorejo yang kehidupan sehari- harinya senantiasa ditandai oleh kebersamaan, kegiatan yang akan dilaksanakan selalu dipertimbangkan secara matang sehingga tidak merasa mengganggu orang lain dalam bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, meskipun pada dasarnya jika kegiatan tersebut dilaksanakan pada pagi atau siang hari orang-orang (masyarakat Plosorejo) akan rela meninggalkan pekerjaannya tanpa mempertimbangkan keuntungan materi. Perkumpulan di rumah si mayat tidak lain untuk mengadakan do’a bersama untuk dihadiahkan kepada si mayat atau setidaknya dengan suatu harapan pahala kebaikan yang dilakukan orang banyak itu mampu menghapus siksa yang akan menimpa si mayat, atau setidaknya bisa mengurangi siksaannya. Mereka menghadiahkan kepada si mayat karena meyakini bahwa pahala yang ditujukan kepada si mayat akan sampai kepadanya.
4.      Nilai Tolong-menolong.
 Dalam hal tolong-menolong pada peristiwa kematian, biasanya dilakukan oleh seseorang dengan amat rela, tanpa perhitungan akan mendapat pertolongan kembali, karena menolong orang yang mendapat musibah itu rupa-rupanya berdasarkan rasa bela sungkawa yang universal dalam jiwa makhluk manusia. Dan dasar dari tolong-menolong juga rupa-rupanya perasaan saling butuh membutuhkan, yang ada dalam jiwa warga masyarakat. Nilai tolong-menolong dalam tradisi selamatan kematian pada masyarakat Plosorejo terlihat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraannya. Misalnya dalam hidangan, selama tujuh hari berturut-turut para ibu- ibu (para tetangga dan kerabat dekat di almarhum) membantu dalam persiapan hidangan (makan, minuman) undangan, karena dalam selamatan kematian tidak sedikit yang hadir kadang-kadang 100-150 orang (sesuai dengan relasi seseorang dalam bermasyarakat). Bahkan pada saat pelaksanaan kematian selesai, mereka bersama-sama membersihkan tempat-tempat yang telah digunakan.  Dalam tolong menolong terdapat hubungan saling ketergantungan sebagai akibat dari adanya proses pertukaran yang saling memberikan balasan atas jasa yang diberikan orang lain kepada dirinya.[7] “Long-nolongeh” (tolong menolong) dalam masyarakat Plosorejo khususnya dalam selamatan  kematian terjadi secara spontan dan rela, tetapi juga ada yang didasarkan oleh perasaan saling membutuhkan yang ada dalam jiwa masyarakat tersebut. Kegiatan tolong-menolong ini diartikan sebagai suatu kegiatan kerja yang melibatkan tenaga kerja dengan tujuan membantu si punya hajat dan mereka tidak menerima imbalan berupa upah (tolong menolong pada situasi kematian musibah cenderung rela).


b.      Unsur Budaya lokal
Unsur budaya jawa pada selamatan kematian terlihat jelas pelaksanaannya yang di tentukan oleh penanggalan jawa.
                Selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa adalah :
* 1-7 hari (telung dina, pitong dina)
* 40 hari (matangpuluh dina)
* 100 hari (nyatus dina)
* Mendhak 1
* Mendhak 2
* 1000 hari (nyewu)

Orang Jawa mempunyai rumus tersendiri dalam menghitung selamatan. Salah satunya dengan memanfaatkan Hari dan pasaran. Hari adalah Senin,Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at , Sabtu dan Minggu. Sedangkan pasaran adalah Pon, wage, Kliwon, Manis (Legi) dan Pahing. Mereka mengkombinasikan hari dan pasaran tersebut sehingga menemukan kapan hari selamatan tersebut. Mereka mempunyai rumus tersendiri dalam menghitung selamatan tersebut.
Orang Jawa begitu familiar dengan penghitungan selamatan seperti itu. Karena mereka sudah mempunyai rumus dalam menghitung selamatan orang meninggal, maka merekapun akan dengan mudah menentukan hari apa harus melakukan selamatan tersebut. Misal jika orang meninggal pada hari Jum’at Kliwon, maka selamatannya adalah :
* 3 hari = Minggu Pahing
* 7 hari = Kamis Legi
* 40 hari = Selasa Wage
* 100 hari = Sabtu Wage
* Mendhak 1 = Senin Pon
* Mendhak 2 = Sabtu Pon
* 1000 hari = Rabu wage



BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Upacara selamatan kematian merupakan tradisi bagi masyarakat di Desa Plosorejo. Upacara tersebut dilaksanakan untuk menghormati dan mendoakan orang yang telah meninggal agar diampuni oleh Allah dan mendapatkan tempat yang baik diakhirat. Selamatan kematian merupakan salah satu hasil alkulturasi islam dan budaya lokal sejak islam mulai masuk Desa Plosorejo. Berkat keterbukaan masyarakat terhadap kebudayaan baru, Pada akhirnya kedua kebudayaan tersebut dapat beralkulturasi  dengan baik tanpa menumbulkan konflik yang serius.

















Daftar Pustaka

Drs. M. Darori Amin, MA., Islam & Kebudayaan Jawa, (GAMA MEDIA: Yogyakarta, 2000),
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984),
Moh. Nur Kholis, wawancara, Plosorejo, 5 November  2012

Munir, wawancara, Plosorejo,6 November 2012

Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
                        Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 2005), hal. 551


Rudi, Studi Perbandingan Pranata Sosial, dalam http://blogs.unpad.ac.id(Sdarwis )

Sholeh So’an, Tahlilan: Penelitian Historis atas Makna Penelitian Indonesia, (Bandung: Agung Ilmu),153








[1] Drs. M. Darori Amin, MA., Islam & Kebudayaan Jawa, (GAMA MEDIA: Yogyakarta, 2000), hal.
131
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), hal. 335
[3] Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 2005), hal. 551
[4] Munir, wawancara, Plosorejo, 7 November 20012
[5] Badrussin Hsubky, Bid’ah-bid’ah di Indonesia dalam Perspektif Al-Qur’an As-Shunnah Kalam Kitab
Kuning, (Surabaya: PP. Nurul Islam, 2005), 25.
[6] Moh. Nur Kholis, wawancara, Plosorejo, 5 November  2012
[7] Rudi, Studi Perbandingan Pranata Sosial, dalam http://blogs.unpad.ac.id(Sdarwis )